English Club untuk Hakim Agama
Sebagian orang mungkin berpandangan hakim di peradilan agama hanya paham persoalan-persoalan perceraian atau waris. Bacaannya pun mungkin, salah satunya, kitab kuning atau buku-buku berbahasa Arab. Namun, pandangan ini akan berubah bila anda mampir ke Gedung Sekretariat Mahkamah Agung (MA) atau tepatnya di Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Badilag).
Di sana, digelar diskusi bulanan tentang berbagai topik terkait peradilan. Yang menarik, diskusi tersebut menggunakan bahasa Inggris. Nama forumnya adalah “English Club Meeting”. Para hakim agama atau calon hakim agama terlihat ber-cas-cis-cus menggunakan bahasa Inggris. Ada yang sudah mahir, ada juga yang masih terbata-bata.
Penanggung Jawab Acara, Achmad Cholil dari Ditjen Badilag, mengatakan kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris para hakim agama. “Banyak hakim muda yang potensial,” ujarnya usai acara “English Club Meeting” kepada hukumonline, Rabu (21/12).
Cholil mengatakan awalnya para hakim dan cakim peradilan agama ini ingin mendiskusikan isu-isu perkembangan hukum terkini. “Lalu, kami berpikir mungkin lebih berbobot bila menggunakan bahasa Inggris dan mengundang para pembicara-pembicara yang native dalam berbahasa Inggris,” ungkapnya.
Beberapa yang pernah hadir sebagai pembicara adalah Cate Sumner (IALDF-AUSAID), Leisha Lister (Family Court of Australia), Nenad Bago (IALDF), David Anderson (USAID), Anne Wallace (Universitas Canberra Australia), dan terakhir Niklas Enander (GRM International).Di sana, digelar diskusi bulanan tentang berbagai topik terkait peradilan. Yang menarik, diskusi tersebut menggunakan bahasa Inggris. Nama forumnya adalah “English Club Meeting”. Para hakim agama atau calon hakim agama terlihat ber-cas-cis-cus menggunakan bahasa Inggris. Ada yang sudah mahir, ada juga yang masih terbata-bata.
Penanggung Jawab Acara, Achmad Cholil dari Ditjen Badilag, mengatakan kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris para hakim agama. “Banyak hakim muda yang potensial,” ujarnya usai acara “English Club Meeting” kepada hukumonline, Rabu (21/12).
Cholil mengatakan awalnya para hakim dan cakim peradilan agama ini ingin mendiskusikan isu-isu perkembangan hukum terkini. “Lalu, kami berpikir mungkin lebih berbobot bila menggunakan bahasa Inggris dan mengundang para pembicara-pembicara yang native dalam berbahasa Inggris,” ungkapnya.
Para peserta “English Club Meeting” mayoritas diisi oleh para hakim peradilan agama. Mereka berasal dari pengadilan agama di sekitar Jakarta. Namun, beberapa di antara mereka, ada yang berasal dari Sumatera. “Ada yang berasal dari PA (Pengadilan Agama, red.) Lampung, ada juga yang berasal dari PA Palembang,” ujar Cholil.
Uniknya, para hakim ini mengeluarkan biaya sendiri untuk hadir ke Badilag. “Kami hanya mengundang mereka. Tak ada biaya untuk membayar akomodasi mereka,” ujar Cholil.
Meski begitu, para hakim ini tetap setia menghadiri kegiatan tersebut. Cholil mencatat anggota resmi English Club mencapai 20 hingga 30 orang. “Kami mendapat dukungan dari Dirjen Badilag. Ini menjadi semacam komunitas informal,” jelasnya lagi.
English Club ini awalnya dilaksanakan setiap bulan. Namun, berubah menjadi dua bulan sekali setelah ada Arabic Club. “Jadi, setiap bulan, diselang-seling antara English Club dan Arabic Club. Kita juga mengundang pembicara yang native dalam bahasa Arab. English Club ini sudah berjalan tujuh kali pertemuan,” jelas Cholil.
Tak Hanya Hukum
Topik yang dibahas tak melulu isu hukum atau peradilan. Misalnya, seperti sesi English Club yang dihadiri oleh hukumonline. Niklas Evander, yang tampil sebagai pembicara, mendiskusikan persoalan politik di dunia. Dari persoalan sistem pemilihan, sistem partai politik, sampai ke isu demokrasi dan monarki.
Meski membicarakan isu-isu politik, para hakim pengadilan agama ini tak mau ketingalan untuk mengkaitkan dengan peradilan. Salah seorang peserta dari Pengadilan Agama Lampung menyatakan korelasi antara politik dan peradilan. “Apa kaitannya antara politik dan peradilan agama? Bila partai politik yang berpaham sekuler (memisahkan antara negara dan agama,-red), bagaimana nasib pengadilan agama?” tanyanya.
Niklas pun menjelaskan kaitan antara politik dan peradilan agama memang sangat erat. Di sejumlah negara sekuler memang tak dikenal pengadilan agama. “Termasuk di negara saya, Swedia,” ujarnya. Karenanya, ia mengatakan setiap warga negara, termasuk hakim, harus tetap mencermati isu-isu di dunia politik.
Posting Komentar