Konferensi IACA 2011 Berakhir
Para peserta konferensi IACA berpose bersama di depan Gedung MA.
Jakarta l badilag.net
Konferensi IACA 2011 untuk kawasan Asia-Pasifik berakhir kemarin (16/3/2011). Ketua Mahkamah Agung Harifin A Tumpa secara resmi menutup konferensi yang berlangsung sejak 13 Maret di Bogor itu di Ruang Kusumah Atmadja, Gedung MA, Jakarta.
“Dengan mengucapkan alhamdulillah, saya nyatakan konferensi IACA 2011 ditutup,” ujar Ketua MA yang langsung disambut applaus oleh ratusan peserta konferensi dari 18 negara.
Ke-18 negara itu ialah Afghanistan, Australia, Cambodia, Dubai, Indonesia, Vietnam, Malaysia, Maldives, Mongolia, Pakistan, Philippinnes, Papua New Guinnea, Singapura, Solomon Islands, Timor Leste, Ukraina, Amerika Serikat, dan Vanuatu.
Ketua MA bersyukur konferensi ini dapat berlangsung sukses. Sebab, ini adalah konferensi internasional pertama sejak 33 tahun terakhir yang diselenggarakan MA.
Ketua MA berharap, berbagai rekomendasi yang dihasilkan konferensi ini dapat memberikan kontribusi yang nyata buat pembaharuan peradilan. Selain itu, Ketua MA juga berharap kerja sama antar peserta konferensi ini tetap terjalin di masa-masa yang akan datang.
Presiden IACA, Jeffrey Apperson, juga bergembira dengan kesuksesan penyelenggaraan konferensi ini.“Ini adalah salah satu konferensi IACA paling bagus sepanjang sejarah IACA,” tuturnya.
Sebagaimana diketahui, IACA berdiri pada tahun 2004. Asosiasi ini dibentuk untuk memajukan administrasi peradilan dengan memodernkan lingkungan pengadilan dan mengefisienkan administrasi peradilan.
Sejak berdiri enam tahun silam, IACA telah menggelar empat kali konferensi. Konferensi di Indonesia merupakan yang kelima atau yang pertama di kawasan Asia Pasifik. Setelah menggelar konferensi di Indonesia, IACA akan menyelenggarakan acara serupa di Belanda pada Oktober 2011.
Pada konferensi yang berlangsung di Bogor kemarin IACA dan MA sepakat untuk mengangkat tema besar “Acces to Justice”. Tema besar itu lantas dirinci menjadi sembilan subtema.
Kesembilan tema itu ialah: Pertama, penyediaan akses terhadap pengadilan kepada kelompok tak-beruntung. Kedua, sidang keliling dan akses terhadap keadilan untuk masyarakat miskin atau terpinggirkan. Ketiga, akses terhadap keadilan untuk anak-anak. Keempat, kerjasama pengadilan dengan organisasi non-pemerintah.
Subtema kelima, pos bantuan hukum. Keenam, pelatihan administrator pengadilan. Ketujuh, penyediaan informasi kepada pencari keadilan/komunikasi dengan para stakeholder pengadilan. Kedelapan, pelaksanaan akses terhadap keadilan: pantauan dan evaluasi. Dan kesembilan, teknologi informasi dan akses terhadap keadilan.
Pertegas komitmen
Secara umum, para peserta konferensi memiliki persepsi yang sama mengenai access to justice. Perbedaan hanya terletak pada sistem hukum dan latar belakang budaya masing-masing negara.
Salah satu rekomendasi yang disepakati para peserta konferensi ialah perlunya komitmen yang tinggi dari berbagai pihak untuk mewujudkan access to justice.
Untuk konteks Indonesia, pemberian fasilitas prodeo, sidang keliling dan posbakum perlu ditingkatkan.
“Negara harus menyediakan sarana dan prasarana serta anggaran yang memadai,” kata Andriani Nurdin, koordinator tim reportuir.
Di samping itu, para peserta konferensi menyepakati perlunya teknologi yang memadai untuk menunjang program access to justice. Sebab, pelaksanaan program ini tidak cukup hanya mengandalkan sumber daya manusia.
Posting Komentar